Jumat, 10 Januari 2014

BUDAYA MUDIK

              BUDAYA MUDIK

MUDIK (pulang atau kembali ke kampung halaman) menjelang lebaran atau Hari Raya Idul Fitri (terkadang juga lebaran Hari Raya Haji atau Idul Adha) setiap tahunnya menjadi satu fenomena masyarakat Muslim modern di berbagai belahan dunia. Tradisi ini mengasyikkan. Betapa tidak, setelah beberapa lama merantau di “negeri” orang --jauh dari orang tua dan sanak kerabat lainnya-- kerap menimbulkan kerinduan akan kampung halaman atau tanah kelahiran.
Keinginan untuk berjumpa kembali dengan orang-orang terdekat yang telah lama (minimal satu tahun terakhir) ditinggalkan itu lumrah adanya dan menjadi harapan semua pihak. Oleh karenanya mudik menjadi yang sesuatu didambakan banyak orang. Terlebih pada hari baik dan bulan baik menjelang Hari Raya Idul Fitri ini.
Fenomena mudik bukan hanya masyarakat Aceh, tetapi masyarakat Muslim Indonesia dan malah muslim dunia juga melakukannya. Berapa banyak TKI-TKW dan mahasiswa yang kembali ke Indonesia pada masa-masa jelang lebaran, misalnya dari Malaysia, Singapura, Korea, dan malah dari Arab Saudi serta Negara-negara Timur Tengah lainnya. Begitu juga dengan orang-orang Maghrib (Marokko), Tunisia dan Aj-Jazair yang bekerja di negara-negara lain di Eropa, Amerika dan di negara-negara Timur Tengah sendiri, mereka juga pulang kampung atau mudik pada hari-hari baik, khususnya pada menjelang lebaran Idul Fitri.
Mereka pulang mulai yang menggunakan pesawat terbang, kapal laut, bus, kereta api, sampai mobil dan sepeda motor, sehingga kadang-kadang jalan menjadi penuh sesak dan macet. Pertanyaannya, bagaimana perspektif syariat Islam dalam hal mudik? Adakah anjuran atau larangan soal pulang kampung tersebut?
Dalam hal ini, jika dicermati satu firman Allah Swt berikut: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu persekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu Sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa’: 36)
Dalam ayat tersebut di atas, Allah Swt dengan jelas dan tegas memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik kepada orang tua, karib kerabat, tetangga, teman sejawat dan seterusnya. Dan ini menjadi satu kewajiban bagi semua hamba yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Berbuat baik dimaksudkan antara lain dengan mudik untuk bertemu, bersalaman guna saling memaafkan dan sampai-sampai melepas kerinduan.
Tidak hanya itu bagi pemudik biasanya membawa pulang sejumlah uang dan barang sebagai hasil jerih payahnya selama di perantauan. Pemudik yang baik, biasanya tidak hanya diperuntukkan bagi keluarga utamanya saja, tetapi juga dia berbagi untuk keluarga dekat, tetangga dan teman sejawat dan seterusnya. Biasanya malah mengadakan kenduri adalah bentuk syukur nikmat dan bersedekah dengan lebih luas dan merata kepada masyarakatnya. Semua itu menjadi daya tarik dan kebanggaan sendiri bagi pemudik, calon perantau lain dan keluarganya.
Dari sisi lain lagi, dapat dilihat mudik  sebagai upaya menyambung dan mempererat hubungan silaturrahim. Setelah sekian lama mereka tidak bertemu, tidak ngumpul dan tidak melakukan tukar informasi, maka dengan mudik tali silaturrahim akan tersambung. Lebih-lebih bagi orang yang paham akan pentingnya bersilaturrahim, yaitu akan dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka pilihan untuk mudik menjadi lebih bermakna dan berguna bagi kehidupan seseorang di masa datang, sebagaimana sabda Nabi saw: “Dari Anas ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkaan umurnya, maka hendaklah ia suka bersilaturrahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa dalam perspektif budaya, mudik menjadi tradisi yang terus eksis dan disukai oleh umat Islam dewasa ini. Pada sisi lain, dalam sudut pandang syari’at Islam mudik, paling tidak berhubungan dengan prinsip berbuat baik dan bersilaturrahim, adalah hal-hal yang dianjurkan dalam syariat Islam. Dengan mudik seseorang dapat mengaplikasi bentuk pengabdian dan berbuat baiknya kepada orang tua, anggota keluarga, dan kerabat lainnya. Kemudian dengan mudik pula hubungan silaturrahmi yang selama ini mungkin sudah renggang, dapat terajut kembali dengan baik.
Tips Berkendaraan Umum Saat Mudik Lebaran:
  • Waspada terhadap beberapa aksi kriminalitas.
  • Jangan terlihat bingung bila memasuki terminal atau stasiun.
  • Mudik jangan sendirian, minimal berdua atau lebih.
  •  Jangan terlalu percaya dengan orang yang baru dikenal atau ditemui saat di terminal bus, stasiun kereta api atau bandara.
  • Jangan membawa barang terlalu banyak atau mengenakan barang perhiasan yang mencolok.
Tips Agar Rumah Aman Selama Mudik Lebaran:
  • Tinggalkan rumah dalam kondisi yang bersih dan aman.
  • Pastikan seluruh sambungan listrik pada alat-alat elektronik sudah dilepas.
  • Pastikan seluruh pintu dan jendela rumah sudah terkunci rapat.
  • Periksa kembali kompor dan tabung gas.
  • Jangan tinggalkan kendaraan pribadi saat rumah kosong. Titipkan kendaraan di kantor atau tempat parkir menginap.
Sebenarnya perbedaan subtansi mudik sebagai sebuah tradisi di Indonesia dan Korea tentu tidak dapat diukur serta merta. Istilah mudik di Indonesia meski dari penjelasan Maman muncul bukan dari akar budaya lama karena baru dasawarsa 1970-an dapat diamati dan dikenali dengan nyata (dari karya satra/tulisan-tulisan), namun dari segi akar budayanya sebenarnya tradisi mudik tetap sudah ada jauh sebelumnya. Bukankah bangsa kita terkenal dengan budaya dan satra lisan dibanding satra tulis karena adanya keterbatasan-keterbasan.
Menurut Syukri Rahmatullah dalam tulisannya di www.okezone.com tanggal 26 September 2008, yang berjudul "Lebaran dan Tradisi Mudik", dengan mengutip Umar Kayam (2002), mudik awal mulanya merupakan tradisi primordial masyarakat petani jawa. Keberadaannya jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Awalnya kegiatan ini digunakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada dewa-dewa di Khayangan. Tradisi ini bertujuan agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tidak diselimuti masalah.
Namun, masuknya pengaruh Islam ke Tanah Jawa membuat tradisi ini lama-kelamaan terkikis, karena dianggap perbuatan syirik. Meski begitu, peluang kembali ke kampung halaman setahun sekali ini muncul lewat momen Idul Fitri.
Islam sebagai agama besar di Indonesia tidak mengenalkan tradisi "mudik" dalam ajarannya. Meskipun demikian, ajaran untuk berbakti kepada orang tua mendapatkan penekanan dan sangat mendalam maknanya. Dengan demikian dalam konteks "teologis" setelah menjalankan puasa 1 bulan penuh selama Ramadhan, dan tiba waktunya merayakan Idul Fitri, kelengkapan pemaknaannya meluas menjadi menemukan kembali hakikat yang "Fitri" dengan kembali ke kampung asal tanah kelahirannya untuk mengukuhkan mental/psikologis bertemu dengan orang tua, keluarga, sanak saudara, untuk meminta maaf, meminta restu dan berbagi kebahagiaan di kampung halaman. Tradisi "sungkem/sungkeman" dalam masyarakat Jawa mendapat bentuk perpaduannya dengan momen Idul Fitri. "Tradisi sungkeman" atau "saling berkunjung untuk bersalaman bermaaf-maafan" dalam tradisi Jawa mendapatkan tempatnya untuk dilaksanakan setelah shalat Idul Fitri usai.
Ali Rif'an dalam tulisannya berjudul " Mudik dan Pesan Teologis" yang dimuat diweb http://www.metrosiantar.com, dengan mengutip Clifford Geertz dalam bukunya, The Intepretation of Cultures (1973), menyebutkan bahwa kehidupan sosial manusia tidak bisa keluar dari jaringan nilai dan makna yang mereka rajut sendiri. Dengan kata lain, mudik juga dipahami sebagai medium untuk membangun kembali jaringan solidaritas dan soliditas manusia terhadap alam dan lingkungan sosial mereka dulu dilahirkan.
Melalui mudik, mereka sedang merajut asa yang dulu pernah ada pada setiap diri manusia. Mereka akan mengenang kembali masa-masa di mana saat awal mengeja kehidupan, mengenal alam sekitar, mengenali diri dan sesama, sekaligus mengenang wajah orang-orang yang dulu pernah memberi kasih sayang. Tak pelak, jika mudik juga disebut sebagai momen untuk mengejawantah puncak kerinduan bagi masyarakat perantauan setelah setahun menapaki jelujur kota yang hampir tanpa koma.
Karenanya, mudik juga menjadi panggung dramaturgi yang terkadang diliputi misteri-misteri yang sulit terpahami. Dalam istilah Umar Kayam (1993), mudik itu kegiatan solidaritas untuk mengukuhkan kembali nilai-nilai budaya dan sosial tanpa membedakan latar agama, politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Esensi mudik, selain sebagai ritus untuk menyembuhkan dahaga kerinduan kepada sanak saudara, juga merupakan momentum mengingat kembali ke akar sosial dan budaya. Mudik berpotensi menyemai dan mengaktualisasikan tradisi-tradisi masa lampau yang pernah hidup di tiap-tiap desa.
Dari aspek "spiritual" yang tercermin dalam "pesan teologis Mudik" dapat diperjelas bahwa sebenarnya momentum mudik membangkitkan semangat rindu kampung halaman secara massal. Tidak hanya dalam konteks kaum urban yang kembali ke udik karena kaki satunya masih dikampung halaman. Mereka yang mudik bukan hanya kelas menengah bawah atau yang tidak terdidik/setengah terdidik. Para pemudik di negeri ini memiliki kesadaran penuh atas semua yang dilakukan, dan seberapa besar resiko yang harus ditanggung dalam menjalani mudik selama lebaran.
Gaya hidup kota yang cenderung tidak mengenal secara akrab dan dekat satu sama lain, serta kurangnya komunikasi secara langsung karena lebih cenderung dipacu dalam rutinitas kerja. Kondisi ini bagi para perantau telah memuncakkan keinginan untuk mengalami kembali suasana kekeluargaan yang hangat dan akrab dengan keluarga dan orang-orang terdekat yang benar-benar dikenalnya, dan jawaban atas pemenuhan kebutuhan tersebut hanya dapat diperoleh dikampung halamannya saat Libur Lebaran karena mereka akan menyatu dan berkumpul bersama.
Menurut konsep Hirarki Kebutuhan Individu Abraham Maslow (dalam Schultz, 1991), manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhan universal dan dibawa sejak lahir. Kebutuhan ini tersusun dalam tingkatan-tingkatan dari yang terendah sampai tertinggi. Kebutuhan paling rendah dan paling kuat harus dipuaskan terlebih dahulu sebelum muncul kebutuhan tingkat selanjutnya. Kebutuhan paling tinggi dalam hirarki kebutuhan individu Abraham Maslow adalah Aktualisasi Diri. Jadi prasyarat untuk mencapai aktualisasi diri adalah memuaskan empat kebutuhan yang berada dalam tingkat yang lebih rendah: 1. Kebutuhan-kebutuhan fisiologis, 2. kebutuhan-kebutuhan akan rasa aman 3. kebutuhan-kebutuhan akan memiliki dan cinta 4. kebutuhan-kebutuhan penghargaan. Kebutuhan-kebutuhan ini harus sekurang-kurangnya sebagian dipuaskan dalam urutan ini, sebelum timbul kebutuhan akan aktualisasi diri.
Dari sudut pandang teori kebutuhan setidaknya nampak jelas bahwa mudik merupakan kebutuhan bukan hanya bagi orang tidak terdidik/setengah terdidik yang bekerja di kota untuk kembali ke udik. Kebutuhan mudik meskipun rangkaian menuju kelengkapan pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri setelah mereka "mampu" memenuhi kebutuhan fisiologis, dan rasa aman. Kebutuhan akan memiliki dan cinta serta penghargaan dapat secara penuh dipahami oleh lingkungan asal yang berada di kampung halaman. Keluarga dan lingkungan di tempat asal nya mampu memberikan rasa memiliki dan cinta serta penghargaan yang diharap-harapkan setiap manusia. Jadi tidak sekedar dikiaskan menjadi "kaki yang satu masih tertinggal di kampung halamannya".
Anggapan pemerintah melakukan pembiaran terhadap "tradisi mudik" sebagaimana ditulis Maman perlu dikritisi, karena mudik memang tidak dapat dilarang. Itu sebuah kebutuhan tidak hanya untuk perantau "musiman" namun mereka yang berhasil hidup sukses dan bermukim di kota juga kebanyakan memiliki sanak saudara di desa, entah itu Pejabat, Direktur, bahkan ilmuwan sekalipun. Mudik juga bukan berarti sekedar pulangnya para perantau dari Jakarta ke udik, tetapi di manapun mereka merantau untuk pulang / berkumpul keluarga di kampung halaman, sehingga terjadi persilangan "jalur mudik" yang Barat ke Timur atau ke Selatan, dan sebaliknya, yang Utara ke Selatan atau sebaliknya, dan seterusnya.
Basis kehidupan kota pada dasarnya tetap berakar dari desa-desa/kampung-kampung. Kota adalah wajah tatanan bangunan dan infrastruktur yang denyut nati dan pergerakan pertumbuhannya butuh tranformasi sosial ekonomi dan budaya dari desa dan kampung sebagai tempat riil mereka hidup bermasyarakat.
Meskipun mayoritas pemudik menurut Maman terbesar dari golongan menengan ke bawah, tidak berarti "mudik" dikonotasikan sebagai budayanya orang kecil semata. Nilai dan makna mudik tidak sekedar menghambur-hamburkan uang semata, menghabiskan bahan bakar, sehingga  jika mencermatinya hanya sebatas sudut pandang akan bermakna sempit, sehingga stigma "mudik" banyak mudarat daripada manfaatnya seakan memperoleh tempat pembenarannya.
Merekayasa hipnosis massal pada tradisi mudik bukanlah hal mudah. Bahkan jika "mudik" bukanlah menjadi suatu kebutuhan yang disadari tentu siapapun orangnya  belum tentu akan bersedia disuruh mudik, sekalipun disuruh dan dibiayai. Mudik menjadi suatu kenikmatan psikologis dan mental ditengah "penderitaan antrean, penuh sesak, berjejal-jejal dan lainnya". Jika momentumnya bukan karena Ramadhan dan Idul Fitri, tentu "mudik biasa" hanya mengandung dosis kecil menciptakan sebuah kenikmatan "ritual mudik". Dan hanya pemudik sejati yang dapat merasakan mengapa mudik menimbulkan pemuasaan kebutuhan batin, meski secara fisik melelahkan. Bukankah makna pemenuhan "rasa puas" dan "kebutuhan aktualisasi" taksiran besarnya standar biaya meraih kepuasan menjadi hal yang sangat subyektif ?.
Pemerintah telah berusaha menunjukkan komitmennya dalam memberikan fasilitas dan kenyamanan para pemudik agar "tradisi mudik berjalan lancar, aman dan nyaman". Langkah Pemerintah dalam peningkatan infrastruktur layanan transportasi masal, peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur jalan, jembatan, penerangan jalan dan pos kesehatan, rest area dan sebagainya telah diupayakan mendukung kelancaran  mudik lebaran.  Tentu saja masih banyak yang perlu dibenahi agar tradisi mudik ini semakin aman, nyaman dan lancar. Yang tidak kalah penting adalah menghimbau agar pemudik dapat turut bertanggungjawab mensukseskan tradisi mudiknya secara aman melalui persiapan fisik dan mental memadai serta disiplin dalam perjalanan mudik agar resiko kerawanan keamanan atau kecelakaan dapat ditekan sekecil mungkin.
Aspek positip mudik bagi pemenuhan kebutuhan tetap dikedepankan dengan tidak lupa mengurangi dampak negatif yang mengiringinya. Dengan demikian "mudik yang berkualitas" tidak membawa mudarat dapat diwujudkan tanpa perlu menyudutkan. 
Adakah kemungkinan bahwa budaya "mudik" ini akan punah seiring berjalannya waktu? Jawabannya "mungkin saja iya" hanya jika pemuasan kebutuhan para "pemudik" sudah tidak lagi dapat ditemukan di kampung halamannya. Namun demikian dapat diperkirakan bahwa kebutuhan "mudik Lebaran" pada rangkaian proses menuju aktualisasi diri bagi mahluk sosial yang bernama "manusia Indonesia" akan selalu mencari jalannya sendiri sesuai adat dan tradisi yang sudah berlangsung secara turun temurun.
Selain tetap dikiritisi, perlu ada keyakinan dalam mengikuti "irama mudik" agar hipnotis massal yang bernama "mudik lebaran" tidak terlalu banyak berhitung-hitung atau merenungkan mengapa mudik terjadi dan mengapa perlu terjadi. Apakah demikian seharusnya

SUMBER :
http://pekalongankab.go.id/fasilitas-web/artikel/sosial-budaya/1219-penafsiran-mudik-lebaran-dalam-aspek-sosial-budaya-bangsa-indonesia-.htmlBUDAYA MUDIK
MUDIK (pulang atau kembali ke kampung halaman) menjelang lebaran atau Hari Raya Idul Fitri (terkadang juga lebaran Hari Raya Haji atau Idul Adha) setiap tahunnya menjadi satu fenomena masyarakat Muslim modern di berbagai belahan dunia. Tradisi ini mengasyikkan. Betapa tidak, setelah beberapa lama merantau di “negeri” orang --jauh dari orang tua dan sanak kerabat lainnya-- kerap menimbulkan kerinduan akan kampung halaman atau tanah kelahiran.
Keinginan untuk berjumpa kembali dengan orang-orang terdekat yang telah lama (minimal satu tahun terakhir) ditinggalkan itu lumrah adanya dan menjadi harapan semua pihak. Oleh karenanya mudik menjadi yang sesuatu didambakan banyak orang. Terlebih pada hari baik dan bulan baik menjelang Hari Raya Idul Fitri ini.
Fenomena mudik bukan hanya masyarakat Aceh, tetapi masyarakat Muslim Indonesia dan malah muslim dunia juga melakukannya. Berapa banyak TKI-TKW dan mahasiswa yang kembali ke Indonesia pada masa-masa jelang lebaran, misalnya dari Malaysia, Singapura, Korea, dan malah dari Arab Saudi serta Negara-negara Timur Tengah lainnya. Begitu juga dengan orang-orang Maghrib (Marokko), Tunisia dan Aj-Jazair yang bekerja di negara-negara lain di Eropa, Amerika dan di negara-negara Timur Tengah sendiri, mereka juga pulang kampung atau mudik pada hari-hari baik, khususnya pada menjelang lebaran Idul Fitri.
Mereka pulang mulai yang menggunakan pesawat terbang, kapal laut, bus, kereta api, sampai mobil dan sepeda motor, sehingga kadang-kadang jalan menjadi penuh sesak dan macet. Pertanyaannya, bagaimana perspektif syariat Islam dalam hal mudik? Adakah anjuran atau larangan soal pulang kampung tersebut?
Dalam hal ini, jika dicermati satu firman Allah Swt berikut: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu persekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu Sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa’: 36)
Dalam ayat tersebut di atas, Allah Swt dengan jelas dan tegas memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik kepada orang tua, karib kerabat, tetangga, teman sejawat dan seterusnya. Dan ini menjadi satu kewajiban bagi semua hamba yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Berbuat baik dimaksudkan antara lain dengan mudik untuk bertemu, bersalaman guna saling memaafkan dan sampai-sampai melepas kerinduan.
Tidak hanya itu bagi pemudik biasanya membawa pulang sejumlah uang dan barang sebagai hasil jerih payahnya selama di perantauan. Pemudik yang baik, biasanya tidak hanya diperuntukkan bagi keluarga utamanya saja, tetapi juga dia berbagi untuk keluarga dekat, tetangga dan teman sejawat dan seterusnya. Biasanya malah mengadakan kenduri adalah bentuk syukur nikmat dan bersedekah dengan lebih luas dan merata kepada masyarakatnya. Semua itu menjadi daya tarik dan kebanggaan sendiri bagi pemudik, calon perantau lain dan keluarganya.
Dari sisi lain lagi, dapat dilihat mudik  sebagai upaya menyambung dan mempererat hubungan silaturrahim. Setelah sekian lama mereka tidak bertemu, tidak ngumpul dan tidak melakukan tukar informasi, maka dengan mudik tali silaturrahim akan tersambung. Lebih-lebih bagi orang yang paham akan pentingnya bersilaturrahim, yaitu akan dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka pilihan untuk mudik menjadi lebih bermakna dan berguna bagi kehidupan seseorang di masa datang, sebagaimana sabda Nabi saw: “Dari Anas ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkaan umurnya, maka hendaklah ia suka bersilaturrahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa dalam perspektif budaya, mudik menjadi tradisi yang terus eksis dan disukai oleh umat Islam dewasa ini. Pada sisi lain, dalam sudut pandang syari’at Islam mudik, paling tidak berhubungan dengan prinsip berbuat baik dan bersilaturrahim, adalah hal-hal yang dianjurkan dalam syariat Islam. Dengan mudik seseorang dapat mengaplikasi bentuk pengabdian dan berbuat baiknya kepada orang tua, anggota keluarga, dan kerabat lainnya. Kemudian dengan mudik pula hubungan silaturrahmi yang selama ini mungkin sudah renggang, dapat terajut kembali dengan baik.
Tips Berkendaraan Umum Saat Mudik Lebaran:
  • Waspada terhadap beberapa aksi kriminalitas.
  • Jangan terlihat bingung bila memasuki terminal atau stasiun.
  • Mudik jangan sendirian, minimal berdua atau lebih.
  •  Jangan terlalu percaya dengan orang yang baru dikenal atau ditemui saat di terminal bus, stasiun kereta api atau bandara.
  • Jangan membawa barang terlalu banyak atau mengenakan barang perhiasan yang mencolok.
Tips Agar Rumah Aman Selama Mudik Lebaran:
  • Tinggalkan rumah dalam kondisi yang bersih dan aman.
  • Pastikan seluruh sambungan listrik pada alat-alat elektronik sudah dilepas.
  • Pastikan seluruh pintu dan jendela rumah sudah terkunci rapat.
  • Periksa kembali kompor dan tabung gas.
  • Jangan tinggalkan kendaraan pribadi saat rumah kosong. Titipkan kendaraan di kantor atau tempat parkir menginap.
Sebenarnya perbedaan subtansi mudik sebagai sebuah tradisi di Indonesia dan Korea tentu tidak dapat diukur serta merta. Istilah mudik di Indonesia meski dari penjelasan Maman muncul bukan dari akar budaya lama karena baru dasawarsa 1970-an dapat diamati dan dikenali dengan nyata (dari karya satra/tulisan-tulisan), namun dari segi akar budayanya sebenarnya tradisi mudik tetap sudah ada jauh sebelumnya. Bukankah bangsa kita terkenal dengan budaya dan satra lisan dibanding satra tulis karena adanya keterbatasan-keterbasan.
Menurut Syukri Rahmatullah dalam tulisannya di www.okezone.com tanggal 26 September 2008, yang berjudul "Lebaran dan Tradisi Mudik", dengan mengutip Umar Kayam (2002), mudik awal mulanya merupakan tradisi primordial masyarakat petani jawa. Keberadaannya jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Awalnya kegiatan ini digunakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada dewa-dewa di Khayangan. Tradisi ini bertujuan agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tidak diselimuti masalah.
Namun, masuknya pengaruh Islam ke Tanah Jawa membuat tradisi ini lama-kelamaan terkikis, karena dianggap perbuatan syirik. Meski begitu, peluang kembali ke kampung halaman setahun sekali ini muncul lewat momen Idul Fitri.
Islam sebagai agama besar di Indonesia tidak mengenalkan tradisi "mudik" dalam ajarannya. Meskipun demikian, ajaran untuk berbakti kepada orang tua mendapatkan penekanan dan sangat mendalam maknanya. Dengan demikian dalam konteks "teologis" setelah menjalankan puasa 1 bulan penuh selama Ramadhan, dan tiba waktunya merayakan Idul Fitri, kelengkapan pemaknaannya meluas menjadi menemukan kembali hakikat yang "Fitri" dengan kembali ke kampung asal tanah kelahirannya untuk mengukuhkan mental/psikologis bertemu dengan orang tua, keluarga, sanak saudara, untuk meminta maaf, meminta restu dan berbagi kebahagiaan di kampung halaman. Tradisi "sungkem/sungkeman" dalam masyarakat Jawa mendapat bentuk perpaduannya dengan momen Idul Fitri. "Tradisi sungkeman" atau "saling berkunjung untuk bersalaman bermaaf-maafan" dalam tradisi Jawa mendapatkan tempatnya untuk dilaksanakan setelah shalat Idul Fitri usai.
Ali Rif'an dalam tulisannya berjudul " Mudik dan Pesan Teologis" yang dimuat diweb http://www.metrosiantar.com, dengan mengutip Clifford Geertz dalam bukunya, The Intepretation of Cultures (1973), menyebutkan bahwa kehidupan sosial manusia tidak bisa keluar dari jaringan nilai dan makna yang mereka rajut sendiri. Dengan kata lain, mudik juga dipahami sebagai medium untuk membangun kembali jaringan solidaritas dan soliditas manusia terhadap alam dan lingkungan sosial mereka dulu dilahirkan.
Melalui mudik, mereka sedang merajut asa yang dulu pernah ada pada setiap diri manusia. Mereka akan mengenang kembali masa-masa di mana saat awal mengeja kehidupan, mengenal alam sekitar, mengenali diri dan sesama, sekaligus mengenang wajah orang-orang yang dulu pernah memberi kasih sayang. Tak pelak, jika mudik juga disebut sebagai momen untuk mengejawantah puncak kerinduan bagi masyarakat perantauan setelah setahun menapaki jelujur kota yang hampir tanpa koma.
Karenanya, mudik juga menjadi panggung dramaturgi yang terkadang diliputi misteri-misteri yang sulit terpahami. Dalam istilah Umar Kayam (1993), mudik itu kegiatan solidaritas untuk mengukuhkan kembali nilai-nilai budaya dan sosial tanpa membedakan latar agama, politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Esensi mudik, selain sebagai ritus untuk menyembuhkan dahaga kerinduan kepada sanak saudara, juga merupakan momentum mengingat kembali ke akar sosial dan budaya. Mudik berpotensi menyemai dan mengaktualisasikan tradisi-tradisi masa lampau yang pernah hidup di tiap-tiap desa.
Dari aspek "spiritual" yang tercermin dalam "pesan teologis Mudik" dapat diperjelas bahwa sebenarnya momentum mudik membangkitkan semangat rindu kampung halaman secara massal. Tidak hanya dalam konteks kaum urban yang kembali ke udik karena kaki satunya masih dikampung halaman. Mereka yang mudik bukan hanya kelas menengah bawah atau yang tidak terdidik/setengah terdidik. Para pemudik di negeri ini memiliki kesadaran penuh atas semua yang dilakukan, dan seberapa besar resiko yang harus ditanggung dalam menjalani mudik selama lebaran.
Gaya hidup kota yang cenderung tidak mengenal secara akrab dan dekat satu sama lain, serta kurangnya komunikasi secara langsung karena lebih cenderung dipacu dalam rutinitas kerja. Kondisi ini bagi para perantau telah memuncakkan keinginan untuk mengalami kembali suasana kekeluargaan yang hangat dan akrab dengan keluarga dan orang-orang terdekat yang benar-benar dikenalnya, dan jawaban atas pemenuhan kebutuhan tersebut hanya dapat diperoleh dikampung halamannya saat Libur Lebaran karena mereka akan menyatu dan berkumpul bersama.
Menurut konsep Hirarki Kebutuhan Individu Abraham Maslow (dalam Schultz, 1991), manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhan universal dan dibawa sejak lahir. Kebutuhan ini tersusun dalam tingkatan-tingkatan dari yang terendah sampai tertinggi. Kebutuhan paling rendah dan paling kuat harus dipuaskan terlebih dahulu sebelum muncul kebutuhan tingkat selanjutnya. Kebutuhan paling tinggi dalam hirarki kebutuhan individu Abraham Maslow adalah Aktualisasi Diri. Jadi prasyarat untuk mencapai aktualisasi diri adalah memuaskan empat kebutuhan yang berada dalam tingkat yang lebih rendah: 1. Kebutuhan-kebutuhan fisiologis, 2. kebutuhan-kebutuhan akan rasa aman 3. kebutuhan-kebutuhan akan memiliki dan cinta 4. kebutuhan-kebutuhan penghargaan. Kebutuhan-kebutuhan ini harus sekurang-kurangnya sebagian dipuaskan dalam urutan ini, sebelum timbul kebutuhan akan aktualisasi diri.
Dari sudut pandang teori kebutuhan setidaknya nampak jelas bahwa mudik merupakan kebutuhan bukan hanya bagi orang tidak terdidik/setengah terdidik yang bekerja di kota untuk kembali ke udik. Kebutuhan mudik meskipun rangkaian menuju kelengkapan pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri setelah mereka "mampu" memenuhi kebutuhan fisiologis, dan rasa aman. Kebutuhan akan memiliki dan cinta serta penghargaan dapat secara penuh dipahami oleh lingkungan asal yang berada di kampung halaman. Keluarga dan lingkungan di tempat asal nya mampu memberikan rasa memiliki dan cinta serta penghargaan yang diharap-harapkan setiap manusia. Jadi tidak sekedar dikiaskan menjadi "kaki yang satu masih tertinggal di kampung halamannya".
Anggapan pemerintah melakukan pembiaran terhadap "tradisi mudik" sebagaimana ditulis Maman perlu dikritisi, karena mudik memang tidak dapat dilarang. Itu sebuah kebutuhan tidak hanya untuk perantau "musiman" namun mereka yang berhasil hidup sukses dan bermukim di kota juga kebanyakan memiliki sanak saudara di desa, entah itu Pejabat, Direktur, bahkan ilmuwan sekalipun. Mudik juga bukan berarti sekedar pulangnya para perantau dari Jakarta ke udik, tetapi di manapun mereka merantau untuk pulang / berkumpul keluarga di kampung halaman, sehingga terjadi persilangan "jalur mudik" yang Barat ke Timur atau ke Selatan, dan sebaliknya, yang Utara ke Selatan atau sebaliknya, dan seterusnya.
Basis kehidupan kota pada dasarnya tetap berakar dari desa-desa/kampung-kampung. Kota adalah wajah tatanan bangunan dan infrastruktur yang denyut nati dan pergerakan pertumbuhannya butuh tranformasi sosial ekonomi dan budaya dari desa dan kampung sebagai tempat riil mereka hidup bermasyarakat.
Meskipun mayoritas pemudik menurut Maman terbesar dari golongan menengan ke bawah, tidak berarti "mudik" dikonotasikan sebagai budayanya orang kecil semata. Nilai dan makna mudik tidak sekedar menghambur-hamburkan uang semata, menghabiskan bahan bakar, sehingga  jika mencermatinya hanya sebatas sudut pandang akan bermakna sempit, sehingga stigma "mudik" banyak mudarat daripada manfaatnya seakan memperoleh tempat pembenarannya.
Merekayasa hipnosis massal pada tradisi mudik bukanlah hal mudah. Bahkan jika "mudik" bukanlah menjadi suatu kebutuhan yang disadari tentu siapapun orangnya  belum tentu akan bersedia disuruh mudik, sekalipun disuruh dan dibiayai. Mudik menjadi suatu kenikmatan psikologis dan mental ditengah "penderitaan antrean, penuh sesak, berjejal-jejal dan lainnya". Jika momentumnya bukan karena Ramadhan dan Idul Fitri, tentu "mudik biasa" hanya mengandung dosis kecil menciptakan sebuah kenikmatan "ritual mudik". Dan hanya pemudik sejati yang dapat merasakan mengapa mudik menimbulkan pemuasaan kebutuhan batin, meski secara fisik melelahkan. Bukankah makna pemenuhan "rasa puas" dan "kebutuhan aktualisasi" taksiran besarnya standar biaya meraih kepuasan menjadi hal yang sangat subyektif ?.
Pemerintah telah berusaha menunjukkan komitmennya dalam memberikan fasilitas dan kenyamanan para pemudik agar "tradisi mudik berjalan lancar, aman dan nyaman". Langkah Pemerintah dalam peningkatan infrastruktur layanan transportasi masal, peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur jalan, jembatan, penerangan jalan dan pos kesehatan, rest area dan sebagainya telah diupayakan mendukung kelancaran  mudik lebaran.  Tentu saja masih banyak yang perlu dibenahi agar tradisi mudik ini semakin aman, nyaman dan lancar. Yang tidak kalah penting adalah menghimbau agar pemudik dapat turut bertanggungjawab mensukseskan tradisi mudiknya secara aman melalui persiapan fisik dan mental memadai serta disiplin dalam perjalanan mudik agar resiko kerawanan keamanan atau kecelakaan dapat ditekan sekecil mungkin.
Aspek positip mudik bagi pemenuhan kebutuhan tetap dikedepankan dengan tidak lupa mengurangi dampak negatif yang mengiringinya. Dengan demikian "mudik yang berkualitas" tidak membawa mudarat dapat diwujudkan tanpa perlu menyudutkan. 
Adakah kemungkinan bahwa budaya "mudik" ini akan punah seiring berjalannya waktu? Jawabannya "mungkin saja iya" hanya jika pemuasan kebutuhan para "pemudik" sudah tidak lagi dapat ditemukan di kampung halamannya. Namun demikian dapat diperkirakan bahwa kebutuhan "mudik Lebaran" pada rangkaian proses menuju aktualisasi diri bagi mahluk sosial yang bernama "manusia Indonesia" akan selalu mencari jalannya sendiri sesuai adat dan tradisi yang sudah berlangsung secara turun temurun.
Selain tetap dikiritisi, perlu ada keyakinan dalam mengikuti "irama mudik" agar hipnotis massal yang bernama "mudik lebaran" tidak terlalu banyak berhitung-hitung atau merenungkan mengapa mudik terjadi dan mengapa perlu terjadi. Apakah demikian seharusnya

SUMBER :
http://pekalongankab.go.id/fasilitas-web/artikel/sosial-budaya/1219-penafsiran-mudik-lebaran-dalam-aspek-sosial-budaya-bangsa-indonesia-.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar