BUDAYA
MUDIK
MUDIK (pulang atau kembali ke kampung
halaman) menjelang lebaran atau Hari Raya Idul Fitri (terkadang juga lebaran
Hari Raya Haji atau Idul Adha) setiap tahunnya menjadi satu fenomena masyarakat
Muslim modern di berbagai belahan dunia. Tradisi ini mengasyikkan. Betapa
tidak, setelah beberapa lama merantau di “negeri” orang --jauh dari orang tua
dan sanak kerabat lainnya-- kerap menimbulkan kerinduan akan kampung halaman
atau tanah kelahiran.
Keinginan untuk berjumpa kembali
dengan orang-orang terdekat yang telah lama (minimal satu tahun terakhir)
ditinggalkan itu lumrah adanya dan menjadi harapan semua pihak. Oleh karenanya
mudik menjadi yang sesuatu didambakan banyak orang. Terlebih pada hari baik dan
bulan baik menjelang Hari Raya Idul Fitri ini.
Fenomena mudik bukan hanya masyarakat
Aceh, tetapi masyarakat Muslim Indonesia dan malah muslim dunia juga
melakukannya. Berapa banyak TKI-TKW dan mahasiswa yang kembali ke Indonesia
pada masa-masa jelang lebaran, misalnya dari Malaysia, Singapura, Korea, dan
malah dari Arab Saudi serta Negara-negara Timur Tengah lainnya. Begitu juga
dengan orang-orang Maghrib (Marokko), Tunisia dan Aj-Jazair yang bekerja di
negara-negara lain di Eropa, Amerika dan di negara-negara Timur Tengah sendiri,
mereka juga pulang kampung atau mudik pada hari-hari baik, khususnya pada
menjelang lebaran Idul Fitri.
Mereka pulang mulai yang menggunakan
pesawat terbang, kapal laut, bus, kereta api, sampai mobil dan sepeda motor,
sehingga kadang-kadang jalan menjadi penuh sesak dan macet. Pertanyaannya,
bagaimana perspektif syariat Islam dalam hal mudik? Adakah anjuran atau
larangan soal pulang kampung tersebut?
Dalam hal ini, jika dicermati satu
firman Allah Swt berikut: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu persekutukan-Nya
dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu Sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”
(QS. An-Nisa’: 36)
Dalam ayat tersebut di atas, Allah Swt
dengan jelas dan tegas memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik kepada
orang tua, karib kerabat, tetangga, teman sejawat dan seterusnya. Dan ini menjadi
satu kewajiban bagi semua hamba yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Berbuat
baik dimaksudkan antara lain dengan mudik untuk bertemu, bersalaman guna saling
memaafkan dan sampai-sampai melepas kerinduan.
Tidak hanya itu bagi pemudik biasanya
membawa pulang sejumlah uang dan barang sebagai hasil jerih payahnya selama di
perantauan. Pemudik yang baik, biasanya tidak hanya diperuntukkan bagi keluarga
utamanya saja, tetapi juga dia berbagi untuk keluarga dekat, tetangga dan teman
sejawat dan seterusnya. Biasanya malah mengadakan kenduri adalah bentuk syukur
nikmat dan bersedekah dengan lebih luas dan merata kepada masyarakatnya. Semua
itu menjadi daya tarik dan kebanggaan sendiri bagi pemudik, calon perantau lain
dan keluarganya.
Dari sisi lain lagi, dapat dilihat
mudik sebagai upaya menyambung dan mempererat hubungan silaturrahim.
Setelah sekian lama mereka tidak bertemu, tidak ngumpul dan tidak melakukan
tukar informasi, maka dengan mudik tali silaturrahim akan tersambung.
Lebih-lebih bagi orang yang paham akan pentingnya bersilaturrahim, yaitu akan
dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka pilihan untuk mudik
menjadi lebih bermakna dan berguna bagi kehidupan seseorang di masa datang,
sebagaimana sabda Nabi saw: “Dari Anas ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkaan umurnya, maka
hendaklah ia suka bersilaturrahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa
dalam perspektif budaya, mudik menjadi tradisi yang terus eksis dan disukai
oleh umat Islam dewasa ini. Pada sisi lain, dalam sudut pandang syari’at Islam
mudik, paling tidak berhubungan dengan prinsip berbuat baik dan
bersilaturrahim, adalah hal-hal yang dianjurkan dalam syariat Islam. Dengan
mudik seseorang dapat mengaplikasi bentuk pengabdian dan berbuat baiknya kepada
orang tua, anggota keluarga, dan kerabat lainnya. Kemudian dengan mudik pula
hubungan silaturrahmi yang selama ini mungkin sudah renggang, dapat terajut
kembali dengan baik.
Tips Berkendaraan Umum Saat Mudik
Lebaran:
- Waspada terhadap beberapa aksi kriminalitas.
- Jangan terlihat bingung bila memasuki terminal atau
stasiun.
- Mudik jangan sendirian, minimal berdua atau lebih.
- Jangan terlalu percaya dengan orang yang baru
dikenal atau ditemui saat di terminal bus, stasiun kereta api atau
bandara.
- Jangan membawa barang terlalu banyak atau mengenakan
barang perhiasan yang mencolok.
Tips Agar Rumah Aman Selama Mudik
Lebaran:
- Tinggalkan rumah dalam kondisi yang bersih dan aman.
- Pastikan seluruh sambungan listrik pada alat-alat
elektronik sudah dilepas.
- Pastikan seluruh pintu dan jendela rumah sudah terkunci
rapat.
- Periksa kembali kompor dan tabung gas.
- Jangan tinggalkan kendaraan pribadi saat rumah kosong.
Titipkan kendaraan di kantor atau tempat parkir menginap.
Sebenarnya perbedaan subtansi mudik
sebagai sebuah tradisi di Indonesia dan Korea tentu tidak dapat diukur serta
merta. Istilah mudik di Indonesia meski dari penjelasan Maman muncul bukan dari
akar budaya lama karena baru dasawarsa 1970-an dapat diamati dan dikenali
dengan nyata (dari karya satra/tulisan-tulisan), namun dari segi akar budayanya
sebenarnya tradisi mudik tetap sudah ada jauh sebelumnya. Bukankah bangsa kita
terkenal dengan budaya dan satra lisan dibanding satra tulis karena adanya
keterbatasan-keterbasan.
Menurut Syukri Rahmatullah dalam
tulisannya di www.okezone.com tanggal 26 September 2008, yang berjudul
"Lebaran dan Tradisi Mudik", dengan mengutip Umar Kayam (2002), mudik
awal mulanya merupakan tradisi primordial masyarakat petani jawa. Keberadaannya
jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Awalnya kegiatan ini digunakan untuk
membersihkan pekuburan atau makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada
dewa-dewa di Khayangan. Tradisi ini bertujuan agar para perantau diberi keselamatan
dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tidak diselimuti masalah.
Namun, masuknya pengaruh Islam ke Tanah Jawa membuat tradisi ini lama-kelamaan terkikis, karena dianggap perbuatan syirik. Meski begitu, peluang kembali ke kampung halaman setahun sekali ini muncul lewat momen Idul Fitri.
Namun, masuknya pengaruh Islam ke Tanah Jawa membuat tradisi ini lama-kelamaan terkikis, karena dianggap perbuatan syirik. Meski begitu, peluang kembali ke kampung halaman setahun sekali ini muncul lewat momen Idul Fitri.
Islam sebagai agama besar di Indonesia
tidak mengenalkan tradisi "mudik" dalam ajarannya. Meskipun demikian,
ajaran untuk berbakti kepada orang tua mendapatkan penekanan dan sangat
mendalam maknanya. Dengan demikian dalam konteks "teologis" setelah
menjalankan puasa 1 bulan penuh selama Ramadhan, dan tiba waktunya merayakan
Idul Fitri, kelengkapan pemaknaannya meluas menjadi menemukan kembali hakikat
yang "Fitri" dengan kembali ke kampung asal tanah kelahirannya untuk
mengukuhkan mental/psikologis bertemu dengan orang tua, keluarga, sanak
saudara, untuk meminta maaf, meminta restu dan berbagi kebahagiaan di kampung
halaman. Tradisi "sungkem/sungkeman" dalam masyarakat Jawa mendapat
bentuk perpaduannya dengan momen Idul Fitri. "Tradisi sungkeman" atau
"saling berkunjung untuk bersalaman bermaaf-maafan" dalam tradisi
Jawa mendapatkan tempatnya untuk dilaksanakan setelah shalat Idul Fitri usai.
Ali Rif'an dalam tulisannya berjudul
" Mudik dan Pesan Teologis" yang dimuat diweb http://www.metrosiantar.com, dengan mengutip Clifford Geertz
dalam bukunya, The Intepretation of Cultures (1973), menyebutkan bahwa
kehidupan sosial manusia tidak bisa keluar dari jaringan nilai dan makna yang
mereka rajut sendiri. Dengan kata lain, mudik juga dipahami sebagai medium
untuk membangun kembali jaringan solidaritas dan soliditas manusia terhadap
alam dan lingkungan sosial mereka dulu dilahirkan.
Melalui mudik, mereka sedang merajut
asa yang dulu pernah ada pada setiap diri manusia. Mereka akan mengenang
kembali masa-masa di mana saat awal mengeja kehidupan, mengenal alam sekitar,
mengenali diri dan sesama, sekaligus mengenang wajah orang-orang yang dulu
pernah memberi kasih sayang. Tak pelak, jika mudik juga disebut sebagai momen
untuk mengejawantah puncak kerinduan bagi masyarakat perantauan setelah setahun
menapaki jelujur kota yang hampir tanpa koma.
Karenanya, mudik juga menjadi panggung
dramaturgi yang terkadang diliputi misteri-misteri yang sulit terpahami. Dalam
istilah Umar Kayam (1993), mudik itu kegiatan solidaritas untuk mengukuhkan
kembali nilai-nilai budaya dan sosial tanpa membedakan latar agama, politik,
sosial, ekonomi, dan budaya. Esensi mudik, selain sebagai ritus untuk menyembuhkan
dahaga kerinduan kepada sanak saudara, juga merupakan momentum mengingat
kembali ke akar sosial dan budaya. Mudik berpotensi menyemai dan
mengaktualisasikan tradisi-tradisi masa lampau yang pernah hidup di tiap-tiap
desa.
Dari aspek "spiritual" yang
tercermin dalam "pesan teologis Mudik" dapat diperjelas bahwa
sebenarnya momentum mudik membangkitkan semangat rindu kampung halaman secara
massal. Tidak hanya dalam konteks kaum urban yang kembali ke udik karena kaki
satunya masih dikampung halaman. Mereka yang mudik bukan hanya kelas menengah
bawah atau yang tidak terdidik/setengah terdidik. Para pemudik di negeri ini
memiliki kesadaran penuh atas semua yang dilakukan, dan seberapa besar resiko
yang harus ditanggung dalam menjalani mudik selama lebaran.
Gaya hidup kota yang cenderung tidak
mengenal secara akrab dan dekat satu sama lain, serta kurangnya komunikasi
secara langsung karena lebih cenderung dipacu dalam rutinitas kerja. Kondisi
ini bagi para perantau telah memuncakkan keinginan untuk mengalami kembali
suasana kekeluargaan yang hangat dan akrab dengan keluarga dan orang-orang
terdekat yang benar-benar dikenalnya, dan jawaban atas pemenuhan kebutuhan
tersebut hanya dapat diperoleh dikampung halamannya saat Libur Lebaran karena
mereka akan menyatu dan berkumpul bersama.
Menurut konsep Hirarki Kebutuhan
Individu Abraham Maslow (dalam Schultz, 1991), manusia didorong oleh
kebutuhan-kebutuhan universal dan dibawa sejak lahir. Kebutuhan ini tersusun
dalam tingkatan-tingkatan dari yang terendah sampai tertinggi. Kebutuhan paling
rendah dan paling kuat harus dipuaskan terlebih dahulu sebelum muncul kebutuhan
tingkat selanjutnya. Kebutuhan paling tinggi dalam hirarki kebutuhan individu
Abraham Maslow adalah Aktualisasi Diri. Jadi prasyarat untuk mencapai aktualisasi
diri adalah memuaskan empat kebutuhan yang berada dalam tingkat yang lebih
rendah: 1. Kebutuhan-kebutuhan fisiologis, 2. kebutuhan-kebutuhan akan rasa
aman 3. kebutuhan-kebutuhan akan memiliki dan cinta 4. kebutuhan-kebutuhan
penghargaan. Kebutuhan-kebutuhan ini harus sekurang-kurangnya sebagian
dipuaskan dalam urutan ini, sebelum timbul kebutuhan akan aktualisasi diri.
Dari sudut pandang teori kebutuhan
setidaknya nampak jelas bahwa mudik merupakan kebutuhan bukan hanya bagi orang
tidak terdidik/setengah terdidik yang bekerja di kota untuk kembali ke udik.
Kebutuhan mudik meskipun rangkaian menuju kelengkapan pemenuhan kebutuhan
aktualisasi diri setelah mereka "mampu" memenuhi kebutuhan
fisiologis, dan rasa aman. Kebutuhan akan memiliki dan cinta serta penghargaan
dapat secara penuh dipahami oleh lingkungan asal yang berada di kampung
halaman. Keluarga dan lingkungan di tempat asal nya mampu memberikan rasa
memiliki dan cinta serta penghargaan yang diharap-harapkan setiap manusia. Jadi
tidak sekedar dikiaskan menjadi "kaki yang satu masih tertinggal di
kampung halamannya".
Anggapan pemerintah melakukan
pembiaran terhadap "tradisi mudik" sebagaimana ditulis Maman perlu
dikritisi, karena mudik memang tidak dapat dilarang. Itu sebuah kebutuhan tidak
hanya untuk perantau "musiman" namun mereka yang berhasil hidup
sukses dan bermukim di kota juga kebanyakan memiliki sanak saudara di desa,
entah itu Pejabat, Direktur, bahkan ilmuwan sekalipun. Mudik juga bukan berarti
sekedar pulangnya para perantau dari Jakarta ke udik, tetapi di manapun mereka
merantau untuk pulang / berkumpul keluarga di kampung halaman, sehingga terjadi
persilangan "jalur mudik" yang Barat ke Timur atau ke Selatan, dan
sebaliknya, yang Utara ke Selatan atau sebaliknya, dan seterusnya.
Basis kehidupan kota pada dasarnya
tetap berakar dari desa-desa/kampung-kampung. Kota adalah wajah tatanan
bangunan dan infrastruktur yang denyut nati dan pergerakan pertumbuhannya butuh
tranformasi sosial ekonomi dan budaya dari desa dan kampung sebagai tempat riil
mereka hidup bermasyarakat.
Meskipun mayoritas pemudik menurut
Maman terbesar dari golongan menengan ke bawah, tidak berarti "mudik"
dikonotasikan sebagai budayanya orang kecil semata. Nilai dan makna mudik tidak
sekedar menghambur-hamburkan uang semata, menghabiskan bahan bakar,
sehingga jika mencermatinya hanya sebatas sudut pandang akan bermakna
sempit, sehingga stigma "mudik" banyak mudarat daripada manfaatnya
seakan memperoleh tempat pembenarannya.
Merekayasa hipnosis massal pada
tradisi mudik bukanlah hal mudah. Bahkan jika "mudik" bukanlah
menjadi suatu kebutuhan yang disadari tentu siapapun orangnya belum tentu
akan bersedia disuruh mudik, sekalipun disuruh dan dibiayai. Mudik menjadi
suatu kenikmatan psikologis dan mental ditengah "penderitaan antrean,
penuh sesak, berjejal-jejal dan lainnya". Jika momentumnya bukan karena
Ramadhan dan Idul Fitri, tentu "mudik biasa" hanya mengandung dosis
kecil menciptakan sebuah kenikmatan "ritual mudik". Dan hanya pemudik
sejati yang dapat merasakan mengapa mudik menimbulkan pemuasaan kebutuhan
batin, meski secara fisik melelahkan. Bukankah makna pemenuhan "rasa
puas" dan "kebutuhan aktualisasi" taksiran besarnya standar
biaya meraih kepuasan menjadi hal yang sangat subyektif ?.
Pemerintah telah berusaha menunjukkan
komitmennya dalam memberikan fasilitas dan kenyamanan para pemudik agar
"tradisi mudik berjalan lancar, aman dan nyaman". Langkah Pemerintah
dalam peningkatan infrastruktur layanan transportasi masal, peningkatan
kualitas dan kuantitas infrastruktur jalan, jembatan, penerangan jalan dan pos
kesehatan, rest area dan sebagainya telah diupayakan mendukung kelancaran
mudik lebaran. Tentu saja masih banyak yang perlu dibenahi agar tradisi
mudik ini semakin aman, nyaman dan lancar. Yang tidak kalah penting adalah
menghimbau agar pemudik dapat turut bertanggungjawab mensukseskan tradisi
mudiknya secara aman melalui persiapan fisik dan mental memadai serta disiplin
dalam perjalanan mudik agar resiko kerawanan keamanan atau kecelakaan dapat
ditekan sekecil mungkin.
Aspek positip mudik bagi pemenuhan
kebutuhan tetap dikedepankan dengan tidak lupa mengurangi dampak negatif yang
mengiringinya. Dengan demikian "mudik yang berkualitas" tidak membawa
mudarat dapat diwujudkan tanpa perlu menyudutkan.
Adakah kemungkinan bahwa budaya
"mudik" ini akan punah seiring berjalannya waktu? Jawabannya
"mungkin saja iya" hanya jika pemuasan kebutuhan para
"pemudik" sudah tidak lagi dapat ditemukan di kampung halamannya.
Namun demikian dapat diperkirakan bahwa kebutuhan "mudik Lebaran"
pada rangkaian proses menuju aktualisasi diri bagi mahluk sosial yang bernama
"manusia Indonesia" akan selalu mencari jalannya sendiri sesuai adat
dan tradisi yang sudah berlangsung secara turun temurun.
Selain tetap dikiritisi, perlu ada keyakinan
dalam mengikuti "irama mudik" agar hipnotis massal yang bernama
"mudik lebaran" tidak terlalu banyak berhitung-hitung atau
merenungkan mengapa mudik terjadi dan mengapa perlu terjadi. Apakah demikian
seharusnya
SUMBER :
http://pekalongankab.go.id/fasilitas-web/artikel/sosial-budaya/1219-penafsiran-mudik-lebaran-dalam-aspek-sosial-budaya-bangsa-indonesia-.html BUDAYA
MUDIK
MUDIK (pulang atau kembali ke kampung
halaman) menjelang lebaran atau Hari Raya Idul Fitri (terkadang juga lebaran
Hari Raya Haji atau Idul Adha) setiap tahunnya menjadi satu fenomena masyarakat
Muslim modern di berbagai belahan dunia. Tradisi ini mengasyikkan. Betapa
tidak, setelah beberapa lama merantau di “negeri” orang --jauh dari orang tua
dan sanak kerabat lainnya-- kerap menimbulkan kerinduan akan kampung halaman
atau tanah kelahiran.
Keinginan untuk berjumpa kembali
dengan orang-orang terdekat yang telah lama (minimal satu tahun terakhir)
ditinggalkan itu lumrah adanya dan menjadi harapan semua pihak. Oleh karenanya
mudik menjadi yang sesuatu didambakan banyak orang. Terlebih pada hari baik dan
bulan baik menjelang Hari Raya Idul Fitri ini.
Fenomena mudik bukan hanya masyarakat
Aceh, tetapi masyarakat Muslim Indonesia dan malah muslim dunia juga
melakukannya. Berapa banyak TKI-TKW dan mahasiswa yang kembali ke Indonesia
pada masa-masa jelang lebaran, misalnya dari Malaysia, Singapura, Korea, dan
malah dari Arab Saudi serta Negara-negara Timur Tengah lainnya. Begitu juga
dengan orang-orang Maghrib (Marokko), Tunisia dan Aj-Jazair yang bekerja di
negara-negara lain di Eropa, Amerika dan di negara-negara Timur Tengah sendiri,
mereka juga pulang kampung atau mudik pada hari-hari baik, khususnya pada
menjelang lebaran Idul Fitri.
Mereka pulang mulai yang menggunakan
pesawat terbang, kapal laut, bus, kereta api, sampai mobil dan sepeda motor,
sehingga kadang-kadang jalan menjadi penuh sesak dan macet. Pertanyaannya,
bagaimana perspektif syariat Islam dalam hal mudik? Adakah anjuran atau
larangan soal pulang kampung tersebut?
Dalam hal ini, jika dicermati satu
firman Allah Swt berikut: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu persekutukan-Nya
dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu Sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”
(QS. An-Nisa’: 36)
Dalam ayat tersebut di atas, Allah Swt
dengan jelas dan tegas memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik kepada
orang tua, karib kerabat, tetangga, teman sejawat dan seterusnya. Dan ini menjadi
satu kewajiban bagi semua hamba yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Berbuat
baik dimaksudkan antara lain dengan mudik untuk bertemu, bersalaman guna saling
memaafkan dan sampai-sampai melepas kerinduan.
Tidak hanya itu bagi pemudik biasanya
membawa pulang sejumlah uang dan barang sebagai hasil jerih payahnya selama di
perantauan. Pemudik yang baik, biasanya tidak hanya diperuntukkan bagi keluarga
utamanya saja, tetapi juga dia berbagi untuk keluarga dekat, tetangga dan teman
sejawat dan seterusnya. Biasanya malah mengadakan kenduri adalah bentuk syukur
nikmat dan bersedekah dengan lebih luas dan merata kepada masyarakatnya. Semua
itu menjadi daya tarik dan kebanggaan sendiri bagi pemudik, calon perantau lain
dan keluarganya.
Dari sisi lain lagi, dapat dilihat
mudik sebagai upaya menyambung dan mempererat hubungan silaturrahim.
Setelah sekian lama mereka tidak bertemu, tidak ngumpul dan tidak melakukan
tukar informasi, maka dengan mudik tali silaturrahim akan tersambung.
Lebih-lebih bagi orang yang paham akan pentingnya bersilaturrahim, yaitu akan
dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka pilihan untuk mudik
menjadi lebih bermakna dan berguna bagi kehidupan seseorang di masa datang,
sebagaimana sabda Nabi saw: “Dari Anas ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkaan umurnya, maka
hendaklah ia suka bersilaturrahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa
dalam perspektif budaya, mudik menjadi tradisi yang terus eksis dan disukai
oleh umat Islam dewasa ini. Pada sisi lain, dalam sudut pandang syari’at Islam
mudik, paling tidak berhubungan dengan prinsip berbuat baik dan
bersilaturrahim, adalah hal-hal yang dianjurkan dalam syariat Islam. Dengan
mudik seseorang dapat mengaplikasi bentuk pengabdian dan berbuat baiknya kepada
orang tua, anggota keluarga, dan kerabat lainnya. Kemudian dengan mudik pula
hubungan silaturrahmi yang selama ini mungkin sudah renggang, dapat terajut
kembali dengan baik.
Tips Berkendaraan Umum Saat Mudik
Lebaran:
- Waspada terhadap beberapa aksi kriminalitas.
- Jangan terlihat bingung bila memasuki terminal atau
stasiun.
- Mudik jangan sendirian, minimal berdua atau lebih.
- Jangan terlalu percaya dengan orang yang baru
dikenal atau ditemui saat di terminal bus, stasiun kereta api atau
bandara.
- Jangan membawa barang terlalu banyak atau mengenakan
barang perhiasan yang mencolok.
Tips Agar Rumah Aman Selama Mudik
Lebaran:
- Tinggalkan rumah dalam kondisi yang bersih dan aman.
- Pastikan seluruh sambungan listrik pada alat-alat
elektronik sudah dilepas.
- Pastikan seluruh pintu dan jendela rumah sudah terkunci
rapat.
- Periksa kembali kompor dan tabung gas.
- Jangan tinggalkan kendaraan pribadi saat rumah kosong.
Titipkan kendaraan di kantor atau tempat parkir menginap.
Sebenarnya perbedaan subtansi mudik
sebagai sebuah tradisi di Indonesia dan Korea tentu tidak dapat diukur serta
merta. Istilah mudik di Indonesia meski dari penjelasan Maman muncul bukan dari
akar budaya lama karena baru dasawarsa 1970-an dapat diamati dan dikenali
dengan nyata (dari karya satra/tulisan-tulisan), namun dari segi akar budayanya
sebenarnya tradisi mudik tetap sudah ada jauh sebelumnya. Bukankah bangsa kita
terkenal dengan budaya dan satra lisan dibanding satra tulis karena adanya
keterbatasan-keterbasan.
Menurut Syukri Rahmatullah dalam
tulisannya di www.okezone.com tanggal 26 September 2008, yang berjudul
"Lebaran dan Tradisi Mudik", dengan mengutip Umar Kayam (2002), mudik
awal mulanya merupakan tradisi primordial masyarakat petani jawa. Keberadaannya
jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Awalnya kegiatan ini digunakan untuk
membersihkan pekuburan atau makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada
dewa-dewa di Khayangan. Tradisi ini bertujuan agar para perantau diberi keselamatan
dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tidak diselimuti masalah.
Namun, masuknya pengaruh Islam ke Tanah Jawa membuat tradisi ini lama-kelamaan terkikis, karena dianggap perbuatan syirik. Meski begitu, peluang kembali ke kampung halaman setahun sekali ini muncul lewat momen Idul Fitri.
Namun, masuknya pengaruh Islam ke Tanah Jawa membuat tradisi ini lama-kelamaan terkikis, karena dianggap perbuatan syirik. Meski begitu, peluang kembali ke kampung halaman setahun sekali ini muncul lewat momen Idul Fitri.
Islam sebagai agama besar di Indonesia
tidak mengenalkan tradisi "mudik" dalam ajarannya. Meskipun demikian,
ajaran untuk berbakti kepada orang tua mendapatkan penekanan dan sangat
mendalam maknanya. Dengan demikian dalam konteks "teologis" setelah
menjalankan puasa 1 bulan penuh selama Ramadhan, dan tiba waktunya merayakan
Idul Fitri, kelengkapan pemaknaannya meluas menjadi menemukan kembali hakikat
yang "Fitri" dengan kembali ke kampung asal tanah kelahirannya untuk
mengukuhkan mental/psikologis bertemu dengan orang tua, keluarga, sanak
saudara, untuk meminta maaf, meminta restu dan berbagi kebahagiaan di kampung
halaman. Tradisi "sungkem/sungkeman" dalam masyarakat Jawa mendapat
bentuk perpaduannya dengan momen Idul Fitri. "Tradisi sungkeman" atau
"saling berkunjung untuk bersalaman bermaaf-maafan" dalam tradisi
Jawa mendapatkan tempatnya untuk dilaksanakan setelah shalat Idul Fitri usai.
Ali Rif'an dalam tulisannya berjudul
" Mudik dan Pesan Teologis" yang dimuat diweb http://www.metrosiantar.com, dengan mengutip Clifford Geertz
dalam bukunya, The Intepretation of Cultures (1973), menyebutkan bahwa
kehidupan sosial manusia tidak bisa keluar dari jaringan nilai dan makna yang
mereka rajut sendiri. Dengan kata lain, mudik juga dipahami sebagai medium
untuk membangun kembali jaringan solidaritas dan soliditas manusia terhadap
alam dan lingkungan sosial mereka dulu dilahirkan.
Melalui mudik, mereka sedang merajut
asa yang dulu pernah ada pada setiap diri manusia. Mereka akan mengenang
kembali masa-masa di mana saat awal mengeja kehidupan, mengenal alam sekitar,
mengenali diri dan sesama, sekaligus mengenang wajah orang-orang yang dulu
pernah memberi kasih sayang. Tak pelak, jika mudik juga disebut sebagai momen
untuk mengejawantah puncak kerinduan bagi masyarakat perantauan setelah setahun
menapaki jelujur kota yang hampir tanpa koma.
Karenanya, mudik juga menjadi panggung
dramaturgi yang terkadang diliputi misteri-misteri yang sulit terpahami. Dalam
istilah Umar Kayam (1993), mudik itu kegiatan solidaritas untuk mengukuhkan
kembali nilai-nilai budaya dan sosial tanpa membedakan latar agama, politik,
sosial, ekonomi, dan budaya. Esensi mudik, selain sebagai ritus untuk menyembuhkan
dahaga kerinduan kepada sanak saudara, juga merupakan momentum mengingat
kembali ke akar sosial dan budaya. Mudik berpotensi menyemai dan
mengaktualisasikan tradisi-tradisi masa lampau yang pernah hidup di tiap-tiap
desa.
Dari aspek "spiritual" yang
tercermin dalam "pesan teologis Mudik" dapat diperjelas bahwa
sebenarnya momentum mudik membangkitkan semangat rindu kampung halaman secara
massal. Tidak hanya dalam konteks kaum urban yang kembali ke udik karena kaki
satunya masih dikampung halaman. Mereka yang mudik bukan hanya kelas menengah
bawah atau yang tidak terdidik/setengah terdidik. Para pemudik di negeri ini
memiliki kesadaran penuh atas semua yang dilakukan, dan seberapa besar resiko
yang harus ditanggung dalam menjalani mudik selama lebaran.
Gaya hidup kota yang cenderung tidak
mengenal secara akrab dan dekat satu sama lain, serta kurangnya komunikasi
secara langsung karena lebih cenderung dipacu dalam rutinitas kerja. Kondisi
ini bagi para perantau telah memuncakkan keinginan untuk mengalami kembali
suasana kekeluargaan yang hangat dan akrab dengan keluarga dan orang-orang
terdekat yang benar-benar dikenalnya, dan jawaban atas pemenuhan kebutuhan
tersebut hanya dapat diperoleh dikampung halamannya saat Libur Lebaran karena
mereka akan menyatu dan berkumpul bersama.
Menurut konsep Hirarki Kebutuhan
Individu Abraham Maslow (dalam Schultz, 1991), manusia didorong oleh
kebutuhan-kebutuhan universal dan dibawa sejak lahir. Kebutuhan ini tersusun
dalam tingkatan-tingkatan dari yang terendah sampai tertinggi. Kebutuhan paling
rendah dan paling kuat harus dipuaskan terlebih dahulu sebelum muncul kebutuhan
tingkat selanjutnya. Kebutuhan paling tinggi dalam hirarki kebutuhan individu
Abraham Maslow adalah Aktualisasi Diri. Jadi prasyarat untuk mencapai aktualisasi
diri adalah memuaskan empat kebutuhan yang berada dalam tingkat yang lebih
rendah: 1. Kebutuhan-kebutuhan fisiologis, 2. kebutuhan-kebutuhan akan rasa
aman 3. kebutuhan-kebutuhan akan memiliki dan cinta 4. kebutuhan-kebutuhan
penghargaan. Kebutuhan-kebutuhan ini harus sekurang-kurangnya sebagian
dipuaskan dalam urutan ini, sebelum timbul kebutuhan akan aktualisasi diri.
Dari sudut pandang teori kebutuhan
setidaknya nampak jelas bahwa mudik merupakan kebutuhan bukan hanya bagi orang
tidak terdidik/setengah terdidik yang bekerja di kota untuk kembali ke udik.
Kebutuhan mudik meskipun rangkaian menuju kelengkapan pemenuhan kebutuhan
aktualisasi diri setelah mereka "mampu" memenuhi kebutuhan
fisiologis, dan rasa aman. Kebutuhan akan memiliki dan cinta serta penghargaan
dapat secara penuh dipahami oleh lingkungan asal yang berada di kampung
halaman. Keluarga dan lingkungan di tempat asal nya mampu memberikan rasa
memiliki dan cinta serta penghargaan yang diharap-harapkan setiap manusia. Jadi
tidak sekedar dikiaskan menjadi "kaki yang satu masih tertinggal di
kampung halamannya".
Anggapan pemerintah melakukan
pembiaran terhadap "tradisi mudik" sebagaimana ditulis Maman perlu
dikritisi, karena mudik memang tidak dapat dilarang. Itu sebuah kebutuhan tidak
hanya untuk perantau "musiman" namun mereka yang berhasil hidup
sukses dan bermukim di kota juga kebanyakan memiliki sanak saudara di desa,
entah itu Pejabat, Direktur, bahkan ilmuwan sekalipun. Mudik juga bukan berarti
sekedar pulangnya para perantau dari Jakarta ke udik, tetapi di manapun mereka
merantau untuk pulang / berkumpul keluarga di kampung halaman, sehingga terjadi
persilangan "jalur mudik" yang Barat ke Timur atau ke Selatan, dan
sebaliknya, yang Utara ke Selatan atau sebaliknya, dan seterusnya.
Basis kehidupan kota pada dasarnya
tetap berakar dari desa-desa/kampung-kampung. Kota adalah wajah tatanan
bangunan dan infrastruktur yang denyut nati dan pergerakan pertumbuhannya butuh
tranformasi sosial ekonomi dan budaya dari desa dan kampung sebagai tempat riil
mereka hidup bermasyarakat.
Meskipun mayoritas pemudik menurut
Maman terbesar dari golongan menengan ke bawah, tidak berarti "mudik"
dikonotasikan sebagai budayanya orang kecil semata. Nilai dan makna mudik tidak
sekedar menghambur-hamburkan uang semata, menghabiskan bahan bakar,
sehingga jika mencermatinya hanya sebatas sudut pandang akan bermakna
sempit, sehingga stigma "mudik" banyak mudarat daripada manfaatnya
seakan memperoleh tempat pembenarannya.
Merekayasa hipnosis massal pada
tradisi mudik bukanlah hal mudah. Bahkan jika "mudik" bukanlah
menjadi suatu kebutuhan yang disadari tentu siapapun orangnya belum tentu
akan bersedia disuruh mudik, sekalipun disuruh dan dibiayai. Mudik menjadi
suatu kenikmatan psikologis dan mental ditengah "penderitaan antrean,
penuh sesak, berjejal-jejal dan lainnya". Jika momentumnya bukan karena
Ramadhan dan Idul Fitri, tentu "mudik biasa" hanya mengandung dosis
kecil menciptakan sebuah kenikmatan "ritual mudik". Dan hanya pemudik
sejati yang dapat merasakan mengapa mudik menimbulkan pemuasaan kebutuhan
batin, meski secara fisik melelahkan. Bukankah makna pemenuhan "rasa
puas" dan "kebutuhan aktualisasi" taksiran besarnya standar
biaya meraih kepuasan menjadi hal yang sangat subyektif ?.
Pemerintah telah berusaha menunjukkan
komitmennya dalam memberikan fasilitas dan kenyamanan para pemudik agar
"tradisi mudik berjalan lancar, aman dan nyaman". Langkah Pemerintah
dalam peningkatan infrastruktur layanan transportasi masal, peningkatan
kualitas dan kuantitas infrastruktur jalan, jembatan, penerangan jalan dan pos
kesehatan, rest area dan sebagainya telah diupayakan mendukung kelancaran
mudik lebaran. Tentu saja masih banyak yang perlu dibenahi agar tradisi
mudik ini semakin aman, nyaman dan lancar. Yang tidak kalah penting adalah
menghimbau agar pemudik dapat turut bertanggungjawab mensukseskan tradisi
mudiknya secara aman melalui persiapan fisik dan mental memadai serta disiplin
dalam perjalanan mudik agar resiko kerawanan keamanan atau kecelakaan dapat
ditekan sekecil mungkin.
Aspek positip mudik bagi pemenuhan
kebutuhan tetap dikedepankan dengan tidak lupa mengurangi dampak negatif yang
mengiringinya. Dengan demikian "mudik yang berkualitas" tidak membawa
mudarat dapat diwujudkan tanpa perlu menyudutkan.
Adakah kemungkinan bahwa budaya
"mudik" ini akan punah seiring berjalannya waktu? Jawabannya
"mungkin saja iya" hanya jika pemuasan kebutuhan para
"pemudik" sudah tidak lagi dapat ditemukan di kampung halamannya.
Namun demikian dapat diperkirakan bahwa kebutuhan "mudik Lebaran"
pada rangkaian proses menuju aktualisasi diri bagi mahluk sosial yang bernama
"manusia Indonesia" akan selalu mencari jalannya sendiri sesuai adat
dan tradisi yang sudah berlangsung secara turun temurun.
Selain tetap dikiritisi, perlu ada keyakinan
dalam mengikuti "irama mudik" agar hipnotis massal yang bernama
"mudik lebaran" tidak terlalu banyak berhitung-hitung atau
merenungkan mengapa mudik terjadi dan mengapa perlu terjadi. Apakah demikian
seharusnya
SUMBER :
http://pekalongankab.go.id/fasilitas-web/artikel/sosial-budaya/1219-penafsiran-mudik-lebaran-dalam-aspek-sosial-budaya-bangsa-indonesia-.html